10 butir filosofi Jawa tentang kehidupan.
“Urip Iku Urup” (Hidup itu Nyala)
Kurang lebih, butir filosofi ini bermakna dan mengandung pesan moral
sebagai berikut. Hidup kita itu hendaknya memberi manfaat bagi segenap
orang lain yang berada di sekitar kita. Semakin besar kita bisa
memberikan manfaat dan berguna bagi khalayak ramai, maka kwalitas hidup
kita pun juga akan menjadi lebih baik.
“Memayu Hayuning Bawana, Ambrasta dur Hangkara”
(Manusia hidup di dunia harus mengusahakan keselamatan, kebahagiaan dan
kesejahteraan; serta memberantas sifat angkara murka, serakah dan
tamak).
Tugas kita selagi hidup di alam fana ini tak lain adalah mengusahakan
bonum commune yang dalam bahasa politik sering diterjemahkan
sebagai kebaikan atau kesejahteraan bersama untuk segenap masyarakat.
Ke kanan, kita mengusahakan kebaikan dan kesejahteraan umum; ke kiri,
kita berusaha meminimalisir segala bentuk kejahatan dan wujud
keserakahan.
“Sura Dira Jaya Jayaningrat, Lebur Dening
Pangastuti” (Segala sifat keras hati, picik, angkara murka,
hanya bisa dikalahkan dengan sikap bijak, lembut hati dan sabar).
Cinta tanpa pamrih akan mengalahkan segala bentuk kekerasan hati.
Dalam bahasa Latin ada ungkapan Caritas Christi urget nos yang
kurang lebih bisa diartikan ”kasih Tuhan mendorong kita untuk berbuat
banyak bagi sesama”. Bisa juga kita artikan ”kasih mengalahkan segala
angkara murka”.
Pelayanan penuh kasih tanpa pandang bulu yang dilakukan almarhum Ibu
Teresa dari Calcutta adalah contoh paling jelas dan mutakhir yang bisa
ditunjukkan Gereja sebagai bentuk penghayatan iman secara konkret dan
nyata.
“Ngluruk Tanpa Bala; Menang Tanpa Ngasorake; Sekti Tanpa
Aji-Aji; Sugih Tanpa Bandha“ (Berjuang tanpa perlu membawa
massa; Menang tanpa harus merendahkan atau mempermalukan orang lain;
Berwibawa tanpa harus mengandalkan kekuasaan, kekuatan, kekayaan atau
keturunan; Kaya tanpa didasari kebendaan).
Apalah artinya hidup ini bila kita dimusuhi orang lain karena ulah
kita sendiri? Rasa-rasanya tiada guna kita memuja diri dengan segala
atribut duniawi berbentuk kekuasaan, kekayaan, penampilan fisik, kalau
nyatanya kita tidak punya kawan.
Pun pula tidak perlu juga kita membuat orang lain malu atau sakit
hati hanya karena kita ingin ”balas dendam”. Jauh lebih bermartabat,
kalau kita berani mengampuni orang lain dan memberikan maaf, sekalipun
yang bersangkutan barangkali tidak mau mengaku salah dan tidak mau
berdamai dengan kita. Kebesaran jiwa seseorang justru terbaca ketika
berani mengaku salah dan minta maaf; pun pula rela mengampuni mereka
yang bersalah kepada kita.
“Datan Serik Lamun Ketaman, Datan Susah
Lamun Kelangan” (Jangan gampang sakit hati manakala musibah
menimpa diri; Jangan sedih manakala kehilangan sesuatu).
Apalah artinya benda dan harta material kita? Dalam sekejap semua
milik kita bisa musnah dan hilang ”ditelan” bencana alam seperti
tsunami, gempa bumi tektonik, kebakaran, dan masih banyak lagi. Memiliki
benda itu perlu namun tidak perlu menumpuk. Benda atau harta harus
diperlakukan sebagai ”sarana” dan bukan ”tujuan” hidup.
Tujuan hidup kita tak lain adalah memuji kebesaran Tuhan, melayani
sesama dan berbakti kepada Sang Pencipta melalui karya-karya kasih
kepada sesama.
“Aja Gumunan; Aja Getunan; Aja Kagetan, Aja
Aleman” (Jangan mudah terheran-heran; Jangan mudah menyesal;
Jangan mudah terkejut-kejut; Jangan mudah kolokan atau manja).
Banyak orang mengalami ”gegar budaya” (culture shock)
manakala menjadi kaya secara tiba-tiba, entah itu melalui jalan benar
atau tidak benar semisal korupsi. Harta berlimpah mampu mengubah
perilaku manusia. Makanya muncul istilah nouveau riche di
kalangan aristokrasi Perancis menjelang Revolusi Perancis yang akhirnya
memporak-porandakan tatanan sosial di Perancis.
Di Indonesia, banyak orang OKB (Orang Kaya Baru) mendadak berubah
tingkah lakunya. Selain suka berbelanja di pusat-pusat bisnis, caranya
berdandan dan berbicara dengan orang lain pun jadi berubah.
Jadi, untuk apa mesti berubah kalau yang terpenting dalam hidup kita
adalah semangat hati (spiritualitas) itu sendiri?
“Aja Ketungkul Marang Kalungguhan, Kadonyan
lan Kemareman” (Janganlah terobsesi atau terkungkung oleh
keinginan untuk memperoleh kedudukan, kebendaan dan kepuasan duniawi).
Harta, kekuasaan, dan kenikmatan adalah tiga hal yang sering kali
membawa manusia pada jurang dosa alias gampang digoda melakukan
pelanggaran norma-norma sosial-hukum- susila-agama-moral. Sekali gelap
mata, maka gelap pula jalan yang akan kita tempuh lantaran manusia
mudah menjadi ”gila harta, gila kekuasaan, dan gila kenikmatan”.
Hedonisme atau semangat memuja kenikmatan indrawi adalah godaan
paling joss gandhos bagi masyarakat modern. Mending makan
enak daripada harus melakukan praktik-praktik ”penguasaan diri” melalui
puasa atau bentuk lain.
“Aja Kuminter Mundak Keblinger, Aja Cidra Mundak Cilaka”
(Jangan merasa paling pandai agar tidak salah arah; Jangan
suka berbuat curang agar tidak celaka).
Pintar dan cerdas sangat membuka peluang bagi kita menjadi sombong
dan arogan. Kalau kita merasa pintar sendiri, maka orang lain akan
selalu kita pandang sebelah mata. Kalau sudah begitu, maka kita
meletakkan diri kita terlalu tinggi dan memandang orang lain terlalu
rendah. Akibatnya, kita bisa ”kesandung” atau malah terjungkal oleh
arogansi kita sendiri.
Apalagi kalau berani berbuat curang hanya untuk kepentingan diri
sendiri. Itu namanya tega rasa alias tidak berbelas kasih. Orang yang
hanya peduli dengan dirinya sendiri akan mudah sekali ”jatuh” dalam
dosa yang disebut main curang.
“Ojo Milik Barang Kang Melok; Ojo Mangro Mundak Kendo” (Jangan
tergiur oleh hal-hal yang tampak mewah, cantik, indah; Jangan berfikir
mendua agar tidak kendor niat dan kendor semangat).
Hidup sederhana itu indah. Hidup menurut ukuran dan takaran kita
sendiri adalah bijaksana daripada harus hidup penuh kepalsuan
layaknya bunyi pepatah lama ”Besar pasak, daripada tiang”. Sekarang ini,
banyak orang lupa diri lantaran gena hipnotis akan hidup enak, mewah,
dan serba cepat.
Alih-alih beli rumah, orang sudah keburu kepengin membeli mobil atau
barang- barang sekunder lainnya. Itu pun tidak dibayar secara tunai,
melainkan dibayar secara kredit melalui program financing lain seperti
kartu kredit, soft loan, dan seterusnya. Akibatnya, banyak pula orang
terjerumus pada hutang hingga menjadi sasaran para debt collector yang
tanpa henti memburunya agar cepat-cepat melunasi hutangnya kepada bank.
Apakah hidup macam ini memberi suasana nyaman dan tenang? Tentu saja
tidak. Maka dari itu, marilah kita hidup ”prasaja”, apa adanya. Dalam
bahasa rohani, kita mesti hidup secara tantum quantum: sejauh
butuh, kita usahakan, tapi kalau tidak ya mengapa harus keburu nafsu.
“Aja Adigang, Adigung, Adiguna” (Jangan sok kuasa,
sok besar, sok sakti).
Sombong adalah akar segala dosa. Merasa diri paling hebat biasanya
menjadi awal untuk melakukan segala bentuk penghinaan kepada orang
lain. Sombong dan arogansi akan bertambah hebat, kalau ditopang oleh
kekayaaan. Menjadi lebih ”mengerikan” lagi kalau ditambahi dengan
semangat mencari kekuasaan alias ambisius.
Ambisi jelas baik, namun ambisius sangat tidak baik. Hidup sederhana
dan rendah hati adalah sebuah perjalanan panjang; hasil pengolahan
batin yang tidak serba instant. Doa, refleksi dan mawas diri menjadi
sarana batin untuk mengatur kehidupan kita agar kita menjadi manusia
bermartabat, sosial, penuh kasih, dan berguna bagi sesama.
mantab kang..maju terus blog-nya..jangan lupa mampir ke mazda4education.wordpress.com.
BalasHapusSukses terus yah...